Cinta Muhammad pada Khadijah memang sangat fenomenal, sampai-sampai pengakuan sang Nabi sangat menggetarkan hati, Cintanya pada sang belahan hati, tiada terperi.
Nabi Muhammad saw pernah mengalami masa-masa kesedihan yang sangat dalam. Masa-masa berkabung dan kehilangan orang-orang yang dicintainya secara berturut-turut (‘am-huzn) yakni, saat meninggalnya sang paman, Abu Thalib, dan sang Istri tercinta Khatijah yang meninggal pada tahun yang sama.
Khadijah sangat dicintai dan dihormatinya, walau jarak usia beliau terpaut 15 tahun, namun tak sedikitpun mengurangi rasa sayangnya. Hingga beliau enggan berbagi hati dengan yang lain sebelum Khadijah wafat. Memang ia seorang wanita istimewa, yang serasa tak terganti. Memantapkan diri memeluk Islam ketika tak ada seorangpun yang percaya pada dakwah pertama Nabi saw.
Sebagai penyangga jiwa yang mulai melemah, hingga beliau jadi kuat kembali saat dakwahnya mengalami jalan buntu. Seorang wanita pembela dan pendamping yang sangat setia, memberikan seluruh harta kekayaannya untuk jihad agama. Bagi Nabi, Khadijah adalah wanita yang istimewa. Sehingga berbagai kesempatan pun, meski beliau sudah beristri kembali, masih juga memuji Khadijah, yang membuat cemburu Aisyah.
Pada sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, diceritakan Nabi saw sedang bercengkrama di depan rumah mereka. Tiba-tiba melintaslah seorang perempuan tua. Nabi saw segera mempersilahkan perempuan tua itu masuk rumah, digelarnya sorban sebagai alas duduknya. Keduanya lalu bercakap-cakap. Saat perempuan tua itu berlalu, Aisyah menanyakan perihal tamu yang terlihat sangat istimewa dimata nabi.
“Perempuan tua itu mengingatkanku pada Khatijah, saat dia masih hidup, perempuan itu sering datang kerumahnya, dan Khadijah selalu menyambutnya dengan penuh rasa hormat. Aku menghormatinya sebagaimana Khadijah dulu melakukannya.”cerita Nabi Muhammad saw.
Aisyah sepertinya cemburu mendengar penuturan itu, seperti wanita normal lainnya, hingga tak sadar ia berkata,” Masih saja menyebut-sebut perempuan yang sudah mati itu. Bukankah sekarang telah ada perempuan pengganti yang lebih baik dari dirinya?”
Mendengar perkataan istrinya, Aisyiah, Nabi saw nampak memerah raut wajahnya, seperti saat menerima titah Illahiyah atau sedang marah besar. Namun jelas sekali kali ini nampak beliau sedang marah.
“Aisyiah perlu kau tahu, Allah tidak akan mendatangkan pengganti sebaik atau lebih baik dari Khadijah! Tidak akan lagi ada perempuan seperti dia!”, kata Nabi Muhammad saw sambil menghadapkan wajahnya pada Aisyiah.
“..Ia telah terjaga akan kenabianku ketika orang lain terlelap berselimut jahiliyah, ia juga selalu membenarkan ucapanku saat yang lain menganggapnya sebagai bualan, Ia bahkan tak segan memberikan seluruh hartanya padaku dengan ikhlas saat orang lain menyembunyikan tangan, dan darinya Allah memberiku keturunan ketika dari istriku yang lain tidak. Kau perlu tahu semua itu, Aisyah!”
Nampak benar Nabi terlihat marah besar, karena Khadijah adalah seseorang yang sangat mempengaruhi perjalanan kehidupan beliau, setitik cahaya terang diantara pekatnya malam nan gelap. Nabi merasa waktu boleh berlalu, yang hilang tak kembali dapat pengganti, namun Khadijah tetap ada dihati beliau karena kemuliaan hatinya dan cinta selalu tertancap dengan tepat didadanya.
Mulai saat itu Aisyiah memahami, seberapa besar cinta Nabi Muhammad kepada pendamping hidupnya, Khadijah. Kematian tak mematikan rasa cinta tak bertepi sang Nabi kepada Khadijah, istrinya. Posisinya sangat istimewa, dan itu tak terganti oleh siapapun. Kisah cinta yang sangat mengharukan, seharusnyalah kita mengambil hikmah terdalam, agar bisa saling mencintai, menyayangi seperti layaknya Nabi Muhammad kepada Khadijah.
Referensi:
-Dr. Abd. Hamid bin Abd. Rahman as-Suhaibani, Meneladani Wanita Generasi Sahabat, Pustaka Darul Haq, Jakarta: 2006
sumber web : http://www.ummi-online.com/cinta-tanpa-batas--dari-sang-nabi--pada-khadijah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar